Minggu, 30 September 2018

Meraih Impian (Cerita Sejarah Pribadi)

Kala itu bertepatan pada hari kartini, terdapat seorang anak yang mulai membuka mata untuk pertama kalinya. Tangisan terdengar saat ia mulai berjumpa dengan dunia serta menyapa ayah dan ibu tercinta. Dengan segera sebuah nama indah terlontar dari bibir manis ayah dan ibu. "Clarisa Widya Putri," kata mereka saat menamaiku. Nama yang mengandung sebuah harapan itu memiliki arti putri yang terkenal karena kepandaiannya. Mereka berharap agar aku menjadi seorang anak yang pandai dan bisa dibanggakan dunia akhirat. Arti nama dan harapan mereka itulah yang menjadi acuan serta tujuan hidupku untuk mengukir sejarah cinta dan cita di perjalanan hidupku.
Sejak kecil aku selalu ingin menjadi seseorang yang berprestasi terutama di bidang pendidikan. Walaupun musuh terbesarku sejak kecil adalah soal cerita di pelajaran matematika tetapi hal tersebut tak menyurutkan niatku untuk terus belajar dan mengalahkannya. Saat menduduki bangku sekolah dasar aku terkenal sebagai anak yang aktif. Walaupun aku tak seberapa pandai tetapi beberapa kegiatan ekstrakulikuler pun aktif kujalani seperti paskib, pramuka, tari, dan pencak silat. Saat aku mulai menemukan kesulitan dalam belajar, saat itu juga niatku untuk belajar semakin tumbuh dan menguat. Ayah selalu berkata "Jika temanmu bisa menjadi pandai, lalu mengapa kamu tidak bisa? Kamu dan temanmu sama-sama memakan nasi kan? Harusnya jika dia bisa, kamu juga pasti bisa!" Semangat dari ayah selalu terngiang dan ajaran dari ibu saat mengajariku di rumah juga selalu kuterapkan. Aku pasti bisa! ucapku berteriak dalam hati.
Setelah bangku sekolah dasar telah kulalui sesuai harapan, kini usahaku di bangku sekolah menengah pertama pun dimulai. SMP Negeri 2 Taman adalah sekolah yang kupilih untuk menjadi saksi bisu keberhasilan yang ingin kuraih selanjutnya. Tak lagi aktif di berbagai ekstra, saat itu aku hanya mengikuti ekstrakulikuler paskib dan menjadi anggota DISKAM (Disiplin Keamanan) di sekolah. Tanpa disadari kesibukanku dalam ekstrakulikuler sesekali menyurutkan tekadku dalam berprestasi. Namun aku selalu berusaha untuk berjuang karena bagiku perjuangan lebih dari segalanya, hingga akhirnya aku menduduki kelas 3 SMP.
Suatu hari terdengar suara bising dari sudut sana yang berusaha ingin kudengarkan. Suara tersebut ternyata dari segerombolan temanku yang mengatakan "Teman, aku memiliki info penting. Katanya setiap tahun saat wisuda kelulusan nanti akan dipilih sepuluh orang yang memiliki nilai ujian nasional tertinggi. Nantinya mereka akan berjalan ditengah pasukan pagar betis yang telah disiapkan lalu menaiki panggung dan akan diberikan penghargaan. Orang tua mereka juga akan dipersilahkan untuk duduk dibarisan terdepan dari wali murid yang lainnya." Seketika perkataan mereka membuat diriku tercengang. Bukan penghargaan yang ingin ku dapatkan, melainkan pernghargaan untuk orang tuaku nanti yang ingin ku persembahkan untuk mereka. Bayangan harapan seolah selalu melintas dalam pikiran dan hati. Ku bulatkan tekadku dan selalu ku yakini dalam hati bahwa suatu saat nanti orang tua ku akan menduduki kursi paling depan dan namanya akan disebut dengan penuh kebanggaan.
Usahaku kali ini tak semudah yang kupikirkan. Semakin kuat tekadku maka semakin kuat pula hembusan angin yang berusaha menumbangkan semangatku itu. Mulai dari hinaan guru hingga surutnya kepercayaan diri sering terjadi padaku. Beberapa guru meremehkanku karena mereka tak suka dengan kegiatan ekstra paskib yang ku ikuti. Bahkan dihadapanku mereka pernah berkata "Apa sih anak paskib itu? Cuma bisa baris-berbaris tetapi tidak pandai dalam pelajaran. Tidak ada anak pandai di dalam ekstrakulikuler paskib." Mendengar kata tersebut, mukaku memerah seolah merasa terhina. Bagiku paskib adalah ekstrakulikuler yang sangat penting karena dari sinilah aku belajar arti kedisiplinan, ketertiban, sopan santun, kepemimpinan, dan rasa bela negara yang tinggi. Dan suatu ketika guru pembina ekstra paskib datang menghampiriku dengan berkata "Clarisa, kamu anak yang pandai. Bapak berharap banyak kepadamu. Buktikan kalau anak paskib juga bisa berprestasi di bidang akademik. Tunjukkan bahwa kita bisa. Semangat ya." Seketika hati ini bergetar tak karuan. Tanpa jeda sedetikpun hati ini mengikat janji dengan sendirinya dan berkata "Akan kubuktikan kepada semua orang yang meremehkanku bahwa aku bisa berprestasi. Lihat saja nanti pembuktianku!"
Sejak saat itu aku hanya bisa mengenal kata belajar. Ku buat konsep belajar yang membuatku nyaman untuk mempersiapkan ujian nasional. Perjuanganku pun terlihat saat adanya berbagai ujian yang diadakan untuk melatih ujian nasional. Tak kusangka aku selalu menduduki peringkat lima besar dari seluruh murid. Rasa lelah dan bosan sering menghampiri, namun perasaan itu sudah tak ku pedulikan lagi karena perasaan itu hanya akan membawaku ke lubang kehancuran. Ku fokuskan niatku dan ku wujudkan dalam berntuk ikhtiar dalam belajar dan bertawakkal dengan selalu berdoa kepada Dia Sang Pemilik. Walau bibir ini serasa ingin mengeluh namun hati ini selalu berkata bahwa semua perjuangan ini untuk kebahagiaan orang-orang yang ku sayangi. Aku tak akan pernah menyerah dalam berjuang untuk orang yang aku sayangi.
Tak terasa hari ujian nasional pun datang menyapaku. Ku niatkan bahwa semua persaingan ini kulakukan dengan penuh kejujuran. Selalu kusertakan Allah dalam memulai ujian ini. Namun sekali lagi hal megejutkan yang kudengar. Tampak dari jauh seseorang memanggilku dan berkata "Clarisa, aku memiliki kunci jawaban untuk ujian ini. Apakah kamu mau bergabung? Nanti ada biaya tambahannya." Dengan begitu santai ajakan kecurangan itu terucap oleh temanku. Namun yang ku pikirkan saat itu adalah aku takut jika berbuat curang. Aku tak mau berhasil dengan kecurangan. Jika aku curang, lalu apa yang akan kubanggakan terhadap mereka yang meremehkanku. Dengan kata penuh lembut, aku menolak ajakan mereka dan tetap berkomitmen untuk mengerjakannya dengan bantuan Allah. Aku yakini bahwa kebenaran dan kejujuran akan membuahkan hasil. Saat itu soal ujian nasional matematika adalah soal tersulit daripada yang lainnya. Dan benar saja, kebanyakan soal tidak dikerjakan menggunakan rumus tetapi menggunakan logika dan penalaran yang luar biasa. Tangisan rasa takut selalu menyelimutiku. Gejolak dalam hati untuk berbuat curang selalu menggodaku. Aku takut jika tidak berhasil dalam ujian nasional ini. Namun ibu selalu meyakinkanku bahwa hanya kebenaranlah yang akan menang dalam peperangan.
Masa ujian nasional pun berakhir dan tibalah saat pengumuman. Hatiku berdebar penuh ketakutan. Serasa tak sanggup untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Beberapa lembar kertas terlihat dipasang di papan pengumuman sekolah. Ku beranikan diriku untuk membuka mata dan melihat kenyataan yang ada. Ketika aku membuka mata, dengan sekejap mata dan bibir ini terdiam. Air mata sedikit demi sedikit mulai memenuhi mata. Rasa kekecewaan membungkus hati yang tersakiti. Sungguh tak dapat ku percaya bahwa mereka telah mengalahkanku. Mereka yang didasari dengan kebohongan dan tipuan belaka justru yang nantinya akan menerima penghargaan itu. Mereka yang tak pernah mau berusaha sepertiku. Mereka yang tak mau berada dalam jalan kebenaran yang justru memenangkan perang ini. Tak lagi berpikir, kupercepat langkah kakiku untuk beranjak dari sana. Tangisanku pecah seiring kakiku melangkah. Perasaan berkecamuk dalam hati. Ingin rasanyaaku berteriak kepada semua orang dengan mengatakan "Apakah kebenaran tak lagi dipedulikan?" Aku kecewa karena kini kebenaran pun tak berarti apa-apa. Kini yang dilihat hanyalah sebuah akhir bukan sebuah proses dan perjuangannya.
Sesampainya di rumah, perkataan yang pertama terucap dari bibirku adalah "Ibu, aku minta maaf, impianku tak bisa ku wujudkan. Aku tak bisa membanggakanmu. Aku tak bisa memenuhi harapanku untuk membawamu ke puncak kebahagiaan saat melihat anakmu lulus nanti. Sungguh, aku minta maaf. Aku telah kalah dalam pertempuran ini. Mereka yang memenangkannya. Mereka yang berbuat kecurangan itulah yang menang. Maaf jika aku telah mengecewakanmu ibu." Setelah aku terhenti dalam berucap, tampak sorot mata kesedihan terpancar dari mata ibu. Ibu sedih melihat keadaanku yang menangis dihadapannya sembari meminta maaf. Ibu yang tertegun dan mengucap dengan lembut "Tidak apa-apa nak. Kamu sudah berusaha dengan baik. Ibu bangga denganmu yang tak meninggalkan kebenaran walau seberat apapun godaan yang kamu terima. Ibu bangga." Air mata pun semakin mengalir dengan derasnya membasahi pipiku. Tak bisa berucap dan tak bisa berkata. Aku terdiam.
Sesaat setelah itu, Aku terbangun dari tidur dan mendengar suara ibu yang sedang menelpon seseorang. Saat ku tanya, ibu menjawab bahwa dia sedang menelpon wali kelasku dan mencoba untuk bercerita tentang keadaanku. Wali kelasku akhirnya mencoba untuk merundingkan dengan pihak sekolah namun entah apa keputusannya, aku sudah tak peduli lagi karena hatiku terlampau kecewa.
Keesokan harinya persiapan gladi bersih wisuda. Sebelum dimulai, seorang guru akan mengumumkan sepuluh nama terbaik itu. Aku hanya bisa tertunduk diam. Saat disebutkan nama mereka satu persatu, terselip namaku diantar mereka. Hati bertanya-tanya apakah ini bernar, namun memang inilah kenyataannya. Bahkan nama mereka yang curang pun tak ada. Kudapati kebenaran bahwa pihak sekolah telah merubah peraturan tentang hal ini. Sepuluh siswa terbaik dilihat dari seluruh nilai saat dia menduduki kelas 3. Semua akan diperhitungkan. Dan yang lebih mengejutkan adalah mengetahui kenyataan bahwa aku berada di peringkat 4. Syukurku selalu tercap dalam hati. Bahkan ayahku juga terpilih untuk mewakili wali murid saat mengucapkan rasa terima kasih kepada kepala sekolah di atas panggung saat wisuda bersamaku. Tangisan haru pun menyeruak. Segera ku temui wali kelasku dan mengucapkan rasa terima kasihku kepadanya.
Hari yang ditunggu pun tiba. Hari yang berkesan sepanjang hidupku. Ibuku sudah menduduki kursi terdepan dan ayahku tengah bersiap untuk maju di atas panggung. Semua orang tersenyum bangga kepadaku. Mereka bangga akan diriku. Langah kaki secara perlahan menuju ke atas panggung dengan iringan tepuk tangan yang terdengar dari balik pagar betis. Air mata bangga berlinang dari ibu dan ayah. Tangisanku kembali hadir saat prosesi bersimpuh kepada ibu sebagai bentuk penghormatanku. Saat di atas panggung, aku mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Tak kusangka impianku terwujud. Tangis haru dan bangga selalu hadir. Usahaku selama ini tak lagi sia-sia. Aku berhasil.
Tak hanya sampai disini, aku akan terus meraih impianku walau sebesar apapun rintangan yang dihadapi. Percayalah pada sebuah proses yang baik. Karena hanya kebenaran dan kebaikan yang akan sanggup memenangkanmu menuju akhir yang baik. Tak lupa akan selalu kuhadirkan Dia yang akan selalu menolongku dalam keadaan apapun dengan memohn kepada-Nya. Akan selalu kuwujukan mimpi-mimpiku di perjalan hidupku ini.

Meraih Impian (Cerita Sejarah Pribadi)

Kala itu bertepatan pada hari kartini, terdapat seorang anak yang mulai membuka mata untuk pertama kalinya. Tangisan terdengar saat ia mula...